Selasa, 25 Maret 2008

Mengapa Harus Berjama’ah ?

Agar tumbuh dan terpelihara sikap umat yang “sam’an wa tho’atan” terhadap imamah dan imaroh, perlu adanya pemikiran dan pemahaman yang benar tentang organisasi. Jika selama ini pemikiran dan pemahaman kita terhadap suatu organisasi masih sebagai alat yang sifatnya sementara. Jika telah tercapai tujuannya, maka alat tersebut dapat dibuang atau diganti.
Jika tersisa pemahaman model demikian, maka harga sebuah organisasi terutama yang memperjuangkan tegaknya Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak ada bedanya dengan organisasi-organisasi lain. Termasuk dengan kesebelasan sepak bola, yang bisa bubar, dibubarkan atau membubarkan diri. Tergantung kebutuhan yang terikat dengan materi atau musim. Atau jika tidak bubar, pemainnya yang selalu berpindah-pindah club, tergantung club mana yang bisa menjanjikan bonus.
Apabila kita berada dan berjuang dalam sebuah organisasi yang tidak ada bedanya dengan yang lainnya, apalagi di bawah yang lain, tidak mustahil sekurang-kurangnya, lahir penilaian minor dari dalam organisasi sendiri. Bahayanya organisasi itu bisa dihancurkan oleh orang dalam sendiri. Oleh karena itu, kita perlu memberi muatan terhadap organisasi itu, agar dapat membedakan dengan yang lainnya. Muatan itu adalah “ Al-Jama’ah ”.

Mengapa harus berjama’ah ?
Al-Jama’ah itulah yang mendapat jaminan dari Rosul akan masuk surga. Sebagaimana dalam haditsnya :
“ Yahudi berpecah menjadi 71 firqoh, Nashrani berpecah menjadi 72 firqoh, dan ummat ini akan berpecah menjadi 73 firqoh, semuanya dalam neraka, kecuali yang satu”. Rosul ditanya, apa yang satu itu hai Rosul ? Rosul menjawab “ ialah orang yang sesuai dengan apa yang aku kerjakan pada jamanku ini dan juga sesuai dengan shahabatku”.

Ta’rif dan Lingkup Jama’ah

Gambaran ideal mengenai “Al-Jama’ah”, bisa dicermati dalam hadits diatas, yaitu “Maa Ana ‘Alaihi Wa Ashhabii”, yang sesuai dengan kehidupanku dan shahabat-shahabatku”. Kehidupan Rosul dan para shahabat-shahabatnya, sebagaimana kehidupan kita pula, dari segi adanya kebutuhan yang harus dipenuhi dan keterkaitan yang harus dipelihara. Kebutuhan manusia yang pokok, yaitu kebutuhan religius (Agama bathin) dan kebutuhan sosiologis (materi). Keterikatan manusia dengan Alloh dapat melahirkan praktek-praktek ta’budi, sedangkan keterikatan manusia dengan sesamanya dapat melahirkan norma-norma bermasyarakat.
Dalam kaitan dengan bermasyarakat, Imam As Syathibi memberikan ta’rif Al-Jama’ah yang substansinya ditekankan pada gambaran masyarakat yang terikat oleh suatu norma, yang didalamnya tertancap pilar-pilar kepemimpinan.

“ Sesungguhnya Jama’ah itu adalah kumpulan ummat Islam, dengan bermasyarakat, dibawah satu kepemimpinan/Amir”

Selanjutnya Imam As Syathibi memberi ma’na dinamis tentang jama’ah itu, tidak hanya bentuk kehidupan masyarakat yang bernorma dan terbimbing, tetapi juga menggambarkan sebuah kekuasaan (pemerintahan), yang mampu memberlakukan syari’at Islam secara kaffah.
Maka dengan demikian, “ jama’ah ” itu identik dengan “ Ad daulah al Islamiyyah ” atau “ Al khilafah al Islamiyyah “

Kedudukan Al-Jama’ah Menurut Ajaran Islam

Al-Jama’ah mempunyai kedudukan yang mulia dan luhur dalam syari’at Islam, yaitu sebagai “Al urwatul wutsqo”, tali yang kuat yang mengikat keutuhan dan kesatuan ummat, yang jika ikatan itu putus, maka ummat ini akan mengalami perpecahan yang berakibat kelemahan. Sehingga apabila ummat itu telah berpecah-belah, maka hukum serta syi’ar-syi’arnya pun akan lenyap. Oleh karena itu Umar bin khotob r.a. berkata :

“ Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan adanya kepemimpinan dan kepemimpinan tidak akan ada kecuali dengan keta’atan